DOKTER SPESIALIS PRAKTIK PERORANGAN SEBAGAI DOKTER UMUM
Undang Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 mengatur jumlah tempat praktik, sebagaimana diatur dalam pasal 37, ayat 2. Dalam penjelasannya dikatakan tidak termasuk tempat praktik antara lain dalam bakti sosial, penanganan korban bencana, tugas kenegaraan yang bersifat insidentil. Keadaan ini tidak memerlukan surat ijin praktik tetapi cukup memberitahukan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota setempat. Surat Ijin Praktik terhitung pula dimana tempat dokter tersebut bekerja sebagai dokter antara lain Puskesmas, Poliklinik, Rumah Sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya.
Didalam Undang Undang Praktik Kedokteran tidak disebut apakah dokter spesialis boleh berpraktik dokter umum. Dalam Per Menkes No. 512 / 2007 pasal 19 disebutkan bahwa dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran harus sesuai dengan kewenangan dan kompetensi yang dimiliki serta kewenangan lain yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Dengan demikian seorang dokter yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi sebagai dokter/dokter gigi spesialis selayaknya berpraktik sebagai dokter spesialis.
Timbul permasalahan bagaimana dokter spesialis yang tidak terkait langsung dengan pasien atau yang hanya berhubungan dengan jenasah (antara lain spesialis patologi, farmakologi, mikrobiologi atau kedokteran forensik). Atau tenaga dokter spesialis tersebut masih dibutuhkan membantu pelayanan dokter/dokter gigi umum di sarana pelayanan kesehatan suatu institusi. Pada Per Menkes No.512/2007 pasal 5 ayat (3) disebutkan "Dalam hal terdapat keperluan pelayanan medis di daerah, Konsil Kedokteran Indonesia dapat menetapkan STR dokter spesialis atau STR dokter gigi spesialis, berkompeten pula sebagai dokter atau dokter gigi, sesuai permintaan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi atas nama Menteri. Yang pada kenyataannya sampai dengan saat ini KKI belum pernah menerima surat permintaan tersebut.
Bagaimana dengan praktik perorangan sebagai dokter umum. Secara logika seorang dokter spesialis lulusan Indonesia haruslah melalui pendidikan/ijasah dokter/dokter gigi umum. Dengan demikian mereka tentunya mempunyai kompetensi sebagai dokter umum. Selain itu di daerah tertentu, masyarakat masih membutuhkan dia sebagai dokter umum. Kalau di sarana pelayanan kesehatan boleh sebagai dokter umum, walau tentunya atas permintaan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, maka di praktik perorangan logikanya juga dapat, agar tidak menimbulkan standar ganda. Tentunya problematik ini memerlukan solusi yang tepat dan perlu pemikiran dan keputusan bersama antara Organisasi Profesi (IDI/PDGI) dengan Kolegiumnya, Menteri Kesehatan (dengan jajarannya antara lain Dinas Kesehatan), Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan, KKI dan mungkin beberapa pemangku kepentingan lain yang terlibat.
Sebelum ada kesepakatan bersama tersebut perlu diambil sikap sementara. Sikap tersebut berupa diperkenankannya dokter spesialis berpraktik dokter umum perorangan. Sikap ini bukan keputusan KKI tetapi lebih bersifat wacana yang perlu masukan dari para pemangku kepentingan. Sampai kapan dokter spesialis boleh berpraktik perorangan? Tentunya sampai dengan ada keputusan bersama definitif yang disyahkan KKI. Andaikata keputusan definitif tersebut belum ada, padahal STR yang bersangkutan sudah akan habis, dimana untuk memperpanjang STR diperlukan Sertifikat Kompetensi dengan bukti CPD, maka dokter spesialis tersebut tentunya harus menyampaikan CPD bagi dokter umum dan CPD bagi dokter spesialis ke IDI/PDGI untuk memperoleh Surat Keterangan Kompetensi/Sertifikat Kompetensi sebagai syarat mengajukan STR. Selanjutnya KKI dapat menerbitkan STR dokter umum dan STR spesialis berdasar dua kompetensi dokter tersebut yang diberika IDI/PDGI. Sehubungan dengan ini KKI perlu mempertimbangkan adanya Peraturan Konsil tentang memberikan dua STR yaitu STR dokter umum dan STR spesialis bagi dokter/dokter gigi spesialis yang menginginkan berpraktik perorangan dokter/dokter gigi umum.
Didalam Undang Undang Praktik Kedokteran tidak disebut apakah dokter spesialis boleh berpraktik dokter umum. Dalam Per Menkes No. 512 / 2007 pasal 19 disebutkan bahwa dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran harus sesuai dengan kewenangan dan kompetensi yang dimiliki serta kewenangan lain yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Dengan demikian seorang dokter yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi sebagai dokter/dokter gigi spesialis selayaknya berpraktik sebagai dokter spesialis.
Timbul permasalahan bagaimana dokter spesialis yang tidak terkait langsung dengan pasien atau yang hanya berhubungan dengan jenasah (antara lain spesialis patologi, farmakologi, mikrobiologi atau kedokteran forensik). Atau tenaga dokter spesialis tersebut masih dibutuhkan membantu pelayanan dokter/dokter gigi umum di sarana pelayanan kesehatan suatu institusi. Pada Per Menkes No.512/2007 pasal 5 ayat (3) disebutkan "Dalam hal terdapat keperluan pelayanan medis di daerah, Konsil Kedokteran Indonesia dapat menetapkan STR dokter spesialis atau STR dokter gigi spesialis, berkompeten pula sebagai dokter atau dokter gigi, sesuai permintaan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi atas nama Menteri. Yang pada kenyataannya sampai dengan saat ini KKI belum pernah menerima surat permintaan tersebut.
Bagaimana dengan praktik perorangan sebagai dokter umum. Secara logika seorang dokter spesialis lulusan Indonesia haruslah melalui pendidikan/ijasah dokter/dokter gigi umum. Dengan demikian mereka tentunya mempunyai kompetensi sebagai dokter umum. Selain itu di daerah tertentu, masyarakat masih membutuhkan dia sebagai dokter umum. Kalau di sarana pelayanan kesehatan boleh sebagai dokter umum, walau tentunya atas permintaan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, maka di praktik perorangan logikanya juga dapat, agar tidak menimbulkan standar ganda. Tentunya problematik ini memerlukan solusi yang tepat dan perlu pemikiran dan keputusan bersama antara Organisasi Profesi (IDI/PDGI) dengan Kolegiumnya, Menteri Kesehatan (dengan jajarannya antara lain Dinas Kesehatan), Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan, KKI dan mungkin beberapa pemangku kepentingan lain yang terlibat.
Sebelum ada kesepakatan bersama tersebut perlu diambil sikap sementara. Sikap tersebut berupa diperkenankannya dokter spesialis berpraktik dokter umum perorangan. Sikap ini bukan keputusan KKI tetapi lebih bersifat wacana yang perlu masukan dari para pemangku kepentingan. Sampai kapan dokter spesialis boleh berpraktik perorangan? Tentunya sampai dengan ada keputusan bersama definitif yang disyahkan KKI. Andaikata keputusan definitif tersebut belum ada, padahal STR yang bersangkutan sudah akan habis, dimana untuk memperpanjang STR diperlukan Sertifikat Kompetensi dengan bukti CPD, maka dokter spesialis tersebut tentunya harus menyampaikan CPD bagi dokter umum dan CPD bagi dokter spesialis ke IDI/PDGI untuk memperoleh Surat Keterangan Kompetensi/Sertifikat Kompetensi sebagai syarat mengajukan STR. Selanjutnya KKI dapat menerbitkan STR dokter umum dan STR spesialis berdasar dua kompetensi dokter tersebut yang diberika IDI/PDGI. Sehubungan dengan ini KKI perlu mempertimbangkan adanya Peraturan Konsil tentang memberikan dua STR yaitu STR dokter umum dan STR spesialis bagi dokter/dokter gigi spesialis yang menginginkan berpraktik perorangan dokter/dokter gigi umum.