Selamat Datang di E-Bulletin Konsil Kedokteran Indonesia
Edisi No: 07/September/KKI/2011

TUJUAN DAN SUSUNAN ORGANISASI

Tujuan :
Sebagai pertanggungjawaban KKI kepada masyarakat dan merupakan media komunikasi antara KKI dan masyarakat


Penanggung Jawab :
Pimpinan Inti KKI


Dewan Redaksi :
Anggota KKI dan Para Kepala Bagian Sekretariat KKI


Editor Utama :
Astrid

Editor :
1. Sabir Alwy
2. Budi Irawan
3. Teguh Pambudi

Administrator :
1. Moch. Chairul
2. Eliza Meivita
3. Apriansyah


EDITORIAL

Fotokopi STR

Seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, seorang dokter/dokter spesialis dan dokter gigi/dokter gigi spesialis diberi hak untuk berpraktik di 3 (tiga) tempat. Apabila dia bekerja di instansi yang memberi pelayanan medikal Rumah Sakit, Puskesmas, maka ijin berpraktik tinggal dua tempat selain di instansi tersebut.

Salah satu syarat yang harus diajukan ke Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota setempat untuk pengajuan Surat Ijin Praktik (SIP) tersebut adalah fotokopi SIP yang telah dilegalisir untuk memudahkan para dokter/dokter gigi agar tidak perlu memfotokopi sendiri atau harus berhubungan dengan KKI untuk melegalisir fotokopi STR. Selain itu peraturan menyebutkan bahwa fotokopi dokumen apapun baru dianggap syah kalau dilegalisir oleh instansi yang mengeluarkan dokumen tersebut. Jadi apabila dokter/dokter gigi menyerahkan fotokopi STR atau hasil scanning STR yang tidak dilegalisir/disyahkan KKI, maka dokumen fotokopi tersebut tidak layak sebagai dokumen prasyarat untuk meminta SIP. Dengan kata lain Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berhak menolak dokumen pendukung fotokopi STR yang tidak syah tersebut sebagai prasyarat meminta SIP.

Perlu juga dipahami bahwa perbuatan memfotokopi dokumen apapun (termasuk menscanning) tanpa legalisir yang syah yang diperuntukkan untuk prasyarat dokumen pendukung, apalagi disengaja untuk pemalsuan dokumen, maka ini merupakan perbuatan melanggar hukum. Penanggung jawab pemalsuan ini adalah pengaju peminta SIP. Oleh karena itu para sejawat dokter/dokter spesialis dan dokter gigi/dokter gigi spesialis yang mengalami problematik dengan fotokopi STR, dianjurkan untuk berkonsultasi dengan KKI Divisi Registrasi.

Perlu dipahami apabila sejawat, karena sesuatu sebab akan pindah tempat praktik, maka salah satu fotokopi yang telah dilegalisir KKI dan telah diberikan kepada Dinas Kesehatan setempat dapat diminta kembali. Demikian juga haknya apabila kompetensi sejawat meningkat (menjadi spesialis), maka untuk memperoleh STR spesialis harus mengembalikan ke KKI semua berkas STR yang telah diterima sebelumnya (STR asli, dan 3 lembar STR fotokopi yang dilegalisir KKI). Kami menghimbau kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota agar menyimpan file/berkas dan dokumen terkait dengan permintaan SIP, untuk mempermudah pencabutan berkas permohonan SIP.

Semoga informasi ini dapat memberi penjelasan kepada sejawat dokter/dokter gigi yang akan mengajukan SIP dan membantu ketelitian Dinas Kesehatan dalam mencermati prasyarat permohonan SIP.

BERITA KKI

MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA

Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, diberlakukan dengan tujuan memberikan perlindungan kepada pasien. Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independent.

Fungsi Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah untuk penegakan disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mempunyai tugas, menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan atau diadukan kepada Lembaga Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Undang-undang No. 29 Tahun 2004 mempunyai tugas untuk menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi.

Kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia disini adalah : 1) Menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi; 2) Menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau pelanggaran etika atau bukan keduanya; 3) Memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi; 4) Memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi; 5) Menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi; 6) Menyusun tata cara penanganan kasus dugaan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi; 7) Menyusun buku pedoman Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia berkedudukan di Ibu Kota Negara RI, keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas usul organisasi profesi.

Dalam melaksanakan tugasnya anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dibantu oleh Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia yang ditugaskan membantu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia hanya menerima pengaduan yang terjadi pada saat Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sudah berdiri dan hanya melakukan pemeriksaan apabila dokter dan dokter gigi yang diadukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, memiliki Surat Tanda Registrasi (STR).

Jumlah pengaduan yang masuk ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sejak berdirinya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia pada tanggal 1 Maret 2006 adalah : Tahun 2006 sebanyak 9 pengaduan, tahun 2007 sebanyak 11 pengaduan, dan tahun 2008 sebanyak 18 pengaduan.

Pengaduan yang masuk ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bersumber pada : a) Masyarakat sebanyak 35 pengaduan, 2006 (7 pengaduan), 2007 (10 pengaduan), Oktober 2008 (18 pengaduan); b) Institusi sebanyak 3 pengaduan, Dinkes (2 pengaduan), RS (1 pengaduan), Depkes, Organisasi Profesi, KKI; c) Tenaga Kesehatan

Tempat kejadian yang masuk dalam pengaduan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 9 pengaduan, diantaranya di Jakarta sebanyak 5 pengaduan, Lampung sebanyak 1 pengaduan, Surabaya sebanyak 1 pengaduan, Banjarmasin sebanyak 1 pengaduan, dan Solo sebanyak 1 pengaduan. Pada tahun 2007 terdapat 11 pengaduan, diantaranya di Jakarta sebanyak 20 pengaduan, Tangerang sebanyak 4 pengaduan, Cirebon sebanyak 1 pengaduan, Semarang sebanyak 1 pengaduan, Yogyakarta sebanyak 1 pengaduan, Riau sebanyak 1 pengaduan, dan Sorong sebanyak 1 pengaduan. Pada tahun 2008 terdapat 18 pengaduan, diantaranya di Jakarta sebanyak 8 pengaduan, Tangerang sebanyak 2 pengaduan, Medan sebanyak 1 pengaduan, Bandung sebanyak 1 pengaduan, Batam sebanyak 1 pengaduan, Bengkulu sebanyak 1 pengaduan, Kalbar sebanyak 1 pengaduan, Bogor sebanyak 1 pengaduan, Surabay sebanyak 1 pengaduan, dan Depok sebanyak 1 pengaduan.

Pengaduan yang masuk ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah menyangkut disiplin kedokteran dimana permasalahan yang diadukan adalah, Komunikasi (3), Ingkar Janji (2), Penelantaran (2), Pembiayaan (1), Standar Pelayanan (25) dan Kasus RUmah Tangga (2).

Jenis sanksi disiplin yang telah diputuskan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah : 1) Peringatan tertulis sebanyak 4 kasus; 2) Rekomendasi pencabutan STR/SIP Sementara sebanyak 2 kasus, Rekomendasi pencabutan STR/SIP Permanen sebanyak 1 kasus; dan 3) Reedukasi sebanyak 3 kasus.

HAK PASIEN

Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar individual dalam bidang kesehatan, The Right of Self Determination. Meskipun sama fundamentalnya, hak atas pelayanan kesehatan sering dianggap lebih mendasar. Dalam hal ini negara berkewajiban untuk menyelenggarakan pemenuhan layanan kesehatan tersebut, sehingga masyarakat dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan layanan kesehatan yang terjangkau, berkualitas, dan tersedia di seluruh wilayah Indonesia.

Selanjutnya, di dalam praktik kedokteran terjadilah hubungan pasien-dokter yang esensi hubungannya adalah saling menghargai dan saling mempercayai. Tetapi, hubungan ini, tidak seimbang. Secara relatif pasien berada pada posisi yang lebih lemah. Kekurangmampuan pasien untuk membela kepentingannya, yang dalam hal ini disebabkan ketidaktahuan pasien pada masalah pengobatan, menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk mempermasalahkan hak-hak pasien dalam menghadapi para profesional kesehatan.

Hubungan yang terjadi biasanya lebih bersifat paternalistik, di mana pasien selalu mengikuti apa yang dikatakan dokter/dokter gigi, tanpa bertanya apapun. Sebenarnya dokter adalah "partner" pasien dalam hal mencari kesembuhan penyakitnya dan kedudukan keduanya sama secara hukum. Pasien dan dokter sama-sama mempunyai hak dan kewajiban tertentu.

Materi hak pasien tercantum dalam undang-undang dan beberapa diantaranya belum tercantum.

Dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, disebutkan :
- hak atas informasi;
- hak atas pendapat kedua;
- hak atas rahasia kedokteran;
- hak untuk memberikan persetujuan tindakan kedokteran;
- hak atas ganti rugi apabila ia dirugikan karena kesalahan atau kealpaan tenaga kesehatan;
- Hak untuk mendapat penjelasan;
- Hak untuk memperoleh pendapat kedua;
- Hak untuk mendapat pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan, standar profesi dan standar prosedur operasional;
- Hak untuk menolak tindakan medis;
- Hak untuk mendapatkan isi rekam medis.


UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan :
- hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);
- hak untuk meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
- hak untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
- hak untuk menolak tindakan medis;
- hak untuk mendapatkan isi rekam medis.


Hak pasien rumah sakit yang belum tercakup pada kedua undang-undang di atas, antara lain adalah :
1. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
2. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
3. Hak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
4. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit.
5. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya.
6. Hak menerima atau menolak bimbingan moril atau spiritual.


Ada juga hak pasien lainnya yang diakui oleh World Health Organization (WHO), namun belum tercermin dalam Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia, antara lain :
1. Mendapatkan pelayanan medis tanpa mengalami diskriminasi berdasarkan ras, suku, warna kulit, asal, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan fisik, orientasi seksual, aliran politik, pekerjaan, dan sumber dana untuk membayar;
2. Menerima atau menolak untuk dilibatkan dalam penelitian, dan jika bersedia ia berhak memperoleh informasi yang jelas tentang penelitian tersebut; dan
3. Mendapat penjelasan tentang tagihan biaya yang harus dia bayar.


-MMA-
Mulyohadi Ali,Mohammad.2006.Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien.Hal.42.Konsil Kedokteran Indonesia.Jakarta