Selamat Datang di E-Bulletin Konsil Kedokteran Indonesia
Edisi No: 07/September/KKI/2011

TUJUAN DAN SUSUNAN ORGANISASI

Tujuan :
Sebagai pertanggungjawaban KKI kepada masyarakat dan merupakan media komunikasi antara KKI dan masyarakat


Penanggung Jawab :
Pimpinan Inti KKI


Dewan Redaksi :
Anggota KKI dan Para Kepala Bagian Sekretariat KKI


Editor Utama :
Astrid

Editor :
1. Sabir Alwy
2. Budi Irawan
3. Teguh Pambudi

Administrator :
1. Moch. Chairul
2. Eliza Meivita
3. Apriansyah


EDITORIAL

---------------------------------------------------------------------------------------------------

BERITA KKI

LOKAKARYA IMPLEMENTASI STANDAR PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN ANLISIS STANDAR PENDIDIKAN & STANDAR KOMPETENSI DOKTER SPESIALIS MASING-MASING CABANG ILMU
Lembang, 17 - 19 November 2008

Sesuai dengan pasal 6 Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter yang menjalankan praktik kedokteran di Indonesia dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut Konsil Kedokteran berupaya menjalankan tugasnya, bersama stakeholders terkait telah menyelesaikan standar pendidikan dan standar kompetensi profesi dokter serta standar pendidikan dokter spesialis yang telah disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia pada akhir November 2006. Standar pendidikan dan standar kompetensi masing-masing prodi dokter spesialis mengacu pada standar pendidikan profesi dokter spesialis. Konsil Kedokteran Indonesia telah memfasilitasi penyusunannya dan telah mensahkan standar tersebut sebanyak 33 (tiga puluh tiga) standar pendidikan dan standar kompetensi masing-masing spesialis. Konsil Kedokteran Indonesia bersama stakeholders telah menyusun Pedoman Pembukaan program studi dokter dan dokter spesialis, pencabangan spesialisasi dalam pendidikan kedokteran yang akan diimplementasikan. Pedoman ini merupakan acuan untuk menjamin mutu dan kesinambungan program studi baru agar sesuai standar pendidikan profesi dokter maupun dokter spesialis. Untuk mengetahui pelaksanaan dan penerapan pedoman tersebut, maka perlu Lokakarya implementasi standar pendidikan kedokteran dan analisis standar pendidikan dan standar kompetensi dokter spesialis masing-masing cabang ilmu. Tujuan dari lokakarya ini adalah :
  • Mendapatkan informasi tentang implementasi standar pendidikan dan standar kompetensi dokter/dokter spesialis
  • Pengejawantahan/pelaksanaan pedoman Pencabangan Spesialisasi dalam Pendidikan Profesi Kedokteran
  • Penyempurnaan Pedoman Pembukaan Program Studi Dokter Spesialis
  • Diseminasi informasi rencana internship bagi lulusan dokter baru

HAK DOKTER

Dalam melakukan praktik kedokteran, dokter memiliki hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan pasien. Hak dan kewajiban yang esensial diatur di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Selain itu masih ada hak dan kewajiban umum lainnya yang mengikat dokter.

Suatu tindakan yang dilakukan dokter secara material tidak bersifat melawan hukum, apabila memenuhi syarat-syarat berikut secara kumulatif : tindakan itu mempunyai indikasi medik dengan tujuan perawatan yang sifatnya konkret; dan dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam bidang ilmu kedokteran; serta diizinkan oleh pasien. Dua norma yang pertama timbul karena sifat tindakan tersebut sebagai tindakan medis. Adanya izin pasien merupakan hak dari pasien. Hak tersebut menyebabkan timbulnya kelompok norma-norma yang lain yaitu norma untuk menghormati hak-hak pasien sebagai individu dan norma yang mengatur agar pelayanan kesehatan dapat berfungsi di dalam masyarakat untuk kepentingan orang banyak, dalam hal ini pasien sebagai anggota masyarakat.

Beberapa hak dokter adalah :
  • Memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melakukan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Standar profesi menurut Penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 adalah batasan kemampuan (knowledge, skill dan professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. PB IDI, PB PDGI dan para pakar berpendapat bahwa standar profesi tersebut terdiri dari standar pendidikan, standar kompetensi, standar pelayanan dan pedoman perilaku sesuai dengan kode etik kedokteran dan kedokteran gigi. Menurut penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar Prosedur Operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi. Dokter yang melakukan praktik sesuai dengan standar tidak dapat disalahkan dan bertanggung jawab secara hukum atas kerugian atau cidera yang diderita pasien karena kerugian dan cidera tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian dokter. Perlu diketahui bahwa cedera atau kerugian yang diderita pasien dapat saja terjadi karena perjalanan penyakitnya sendiri atau karena resiko medis yang dapat diterima (acceptable) dan telah disetujui pasien dalam informed consent.
  • Melakukan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Dokter diberi hak untuk menolak permintaan pasien atau keluarganya yang dianggapnya melanggar standar profesi dan atau standar prosedur operasional.
  • Memperoleh informasi yang jujur dan lengkap dari pasien atau keluarganya. Dokter tidak hanya memerlukan informasi kesehatan dari pasien, melainkan juga informasi pendukung yang berkaitan dengan identitas pasien dan faktor-faktor kontribusi yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit dan penyembuhan penyakit.
  • Menerima imbalan jasa. Hak atas imbalan jasa adalah hak yang timbul sebagai akibat hubungan dokter dengan pasien, yang pemenuhannya merupakan kewajiban pasien. Dalam keadaan darurat atau dalam kondisi tertentu, pasien tetap dapat dilayani dokter tanpa mempertimbangkan aspek finansial.
Selain itu dokter juga memiliki hak-hak yang berasal dari hak azasi manusia, seperti :
  • hak atas privasinya
  • hak untuk diperlakukan secara layak
  • hak untuk beristirahat
  • hak untuk secara bebas memilih pekerjaan
  • hak untuk terbebas dari intervensi, ancaman dan kekerasan, dan lain-lain sewaktu menolong pasien.

EDITORIAL

KEBERADAAN DOKTER ASING YANG SAAT INI PRAKTIK DI INDONESIA

Pada saat ini tidak dipungkiri adanya dokter asing yang praktik dokter, baik perorangan ataupun bekerja di Rumah Sakit. Terlepas kemanfaatan mereka selama ini, tetapi dengan adanya amanah Undang-undang Praktik Kedokteran No.29 tahun 2004, bagaimana sikap pemerintah atau Konsil Kedokteran Indonesia sampai dengan saat ini belum ada kepastian. Untuk menegakkan wibawa dan pelaksanaan Undang-undang Praktik Kedokteran tersebut, seharusnya cepat diambil sikap kepastian hukum terhadap mereka. Telah banyak anggota masyarakat maupun para dokter menanyakan masalah tersebut kepada Konsil Kedokteran Indonesia.

Sikap, Kebijaksanaan atau kepastian hukum, tentunya diputuskan secara bijaksana. Sebab keberadaan mereka atau ijin praktik mereka sebelumnya adanya Undang-undang Praktik Kedokteran, dilakukan oleh berbagai instansi berdasarkan peraturan yang ada pada saat itu. Dengan adanya Undang-undang Praktik Kedokteran, maka pada masa yang akan datang semua instansi dan stakeholders yang terlibat dalam perijinan harus mengacu pada Undang-undang Praktik Kedokteran dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia sebagai pemangku pelaksana Undang-undang tersebut.

Dokter Indonesia diwajibkan mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR) sebelum meminta Surat Ijin Praktik (SIP). Pada tahap masa awal/transisi mereka yang sudah punya SIP diberikan STR (tentunya dengan mengajukan permohonan). Peraturan ini tidak diterapkan pada dokter asing yang sudah praktik di Indonesia. Sampai dengan sekarang mereka bebas berpraktik, dilain pihak dokter Indonesia harus mengurus STR sebelum mengajukan SIP. Sebetulnya tidak alasan bagi kita untuk membiarkan mereka bebas berpraktik, apakah dengan dalih STR sementara(untuk orang asing yang berpraktik) belum efektif berlaku, sebelum adanya peraturan pemerintah tentang SIP bagi orang asing ada. Kalau masalah ini tidak cepat dicari penyelesaian, maka tujuan Undang-undang Praktik Kedokteran untuk melindungi masyrakat dan memberi kepastian hukum apa bisa dicapai? Dan bagaimana wibawa Undang-undang Praktik Kedokteran yang telah disahkan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 oktober 2004?

Beberapa pendapat mengusulkan, laporkan saja mereka ke penegak hukum karena SIP mereka tidak berlaku lagi karena mereka belum punya STR. Apakah ini bijak? Pertama, mereka dahulunya mungkin telah mengurus dan mengantongi SIP sesuai dengan peraturan saat itu. Kedua, apabila kebijakan dilaporkan ke penegak hukum apakah tidak menimbulkan gejolak sosial mungkin politik yang lebih besar? Ketiga, apakah pengurusan STR pada masa transisi terdahulu tidak berlaku bagi orang asing, yang ternyata tidak diatur dalam Undang-undang Praktik Kedokteran. Jadi bagaimana sikap kita sebaiknya?

Kami pribadi mengusulkan, sebelum adanya peraturan Konsil Kedokteran Indonesia yang berlaku dan adanya peraturan pemerintah yang mengatur orang asing berpraktik, sebagai berikut:
1). Berlakukan masa transisi bagi pengurusan STR sementara bagi orang asing, walaupun ini sudah agak terlambat. Jadi bagi dokter asing yang secara legal memiliki SIP hendaknya diberikan STR sementara yang berlaku 1 tahun menurut Undang-undang. Masa transisi bagi dokter asing ini segera dilakukan, dan maksimal sekitar 3-6 bulan.
2). Diharapkan atau diwajibkan Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan atau Direktur Rumah Sakit atau Instansi pelayanan kesehatan yang memperkerjakan dokter asing melapor kepada KKI. Apabila mereka tidak dilaporkan, sanksi Undang-undang Praktik Kedokteran pasal 75 bagi dokter asing dan pasal 80 bagi yang mempekerjakannya akan berlaku.
3). Setelah masa transisi bagi dokter asing ini habis, maka permohonan STR sementara yang difinitif diberlakukan apabila sudah ada kepastian peraturan Konsil Kedokteran Indonesia dan peraturan pemerintah tentang ijin praktik sudah ada.

Usulan ini belum tentu diterima semua pihak, khususnya para stakeholder yang berkait dengan peraturan ini. Oleh karena itu para stakeholders segera duduk bersama untuk menentukan sikap dan keputusan yang definitif untuk melaksanakan amanah Undang-undang Praktik Kedokteran No.29 tahun 2004.

BERITA KKI

PENYUSUNAN KEBIJAKAN PEMBINAAN PRAKTIK KEDOKTERAN
DENGAN PENEGAK HUKUM

Sebagaimana telah diketahui bahwa Pembangunan Kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat Indonesia yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan UUD Tahun 1945 pasal 28 H ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pada pelaksanaannya, seluruh anggota masyarakat turut bertanggung jawab dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi diri pribadi, keluarga maupun lingkungannya.

Tujuan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran adalah untuk memberikan perlindungan kepada pasien; mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter atau dokter gigi; serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

Dokter dan dokter gigi yang melayani masyarakat sebagai sesama subjek hukum, memiliki kewajiban dan tanggung jawab serta terikat pada norma-norma etik, disiplin dan hukum. Untuk menentukan batasan norma serta cara penegakan masing-masing norma, tidak dapat dilakukan sebelum ketiga unsur penegak norma benar-benar memahami masing-masing norma tersebut.

Dengan telah diterbitkannya Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, diperlukan kesepahaman persepsi diantara para pemangku kepentingan (stakeholders) terkait, tentang beberapa hal yang berkaitan dengan norma dan penegakannya di bidang praktik kedokteran, antara lain sebagai berikut :
  • Para penegak norma etik, disiplin, dan hukum, belum sepenuhnya memahami norma-norma diluar bidangnya masing-masing.
  • Dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran terdapat beberapa Pasal yang mengatur masalah pelanggaran, yang terkait dengan norma Pidana. Di sisi lain, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga memuat kewenangan serta pengaturan untuk hal yang sama. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan kerancuan.
  • Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran memberi kewenangan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) untuk menentukan ada/tidak adanya kesalahan yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi (Pasal 1 butir 14), sedang di sisi lain KUHP juga memberikan kewenangan kepada pengadilan (hakim) untuk membuktikannya.
  • Adanya paradigma (sampai saat ini) bahwa kegagalan dokter/dokter gigi dalam melakukan pengobatan dianggap sebagai tindakan kejahatan (hukum pidana), padahal di dalam pelaksanaannya, praktik kedokteran sangat terkait dengan penerapan keilmuan kedokteran atau kedokteran gigi, sehingga tidak selalu dapat dikaitkan dengan tindakan kejahatan.
Belajar dari berbagai permasalahan diatas, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) memandang perlu adanya pertemuan antara para penegak etik dalam hal ini Organisasi Profesi (Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia), penegak disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi dalam hal ini KKI / MKDKI dan penegak hukum dalam hal ini Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian dan pemangku kepentingan terkait lainnya.

Pertemuan bagi ketiga unsur penegak itu, dimaksudkan :
  • untuk mencapai kesamaan persepsi tentang norma etik, disiplin dan hukum di bidang kedokteran,
  • untuk mencapai kesamaan persepsi tentang batas-batas norma etik, disiplin, dan hukum di bidang kedokteran,
  • untuk mencapai kesepahaman tentang batasan kewenangan dalam penegakkannya oleh masing-masing penegak norma, serta
  • sebagai tindak lanjut dari hasil pertemuan dengan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 10 September 2008 di Kantor Mahkamah Agung yang memandang perlu disusun dan dilaksanakannya suatu kegiatan berkelanjutan untuk mencapai tujuan diatas.
Tujuan umum dari pertemuan ini adalah tersusunnya kebijakan pembinaan Praktik Kedokteran dengan Penegak Hukum. Tujuan khususnya adalah :
  • tercapainya kesamaan persepsi tentang norma etik, disiplin dan hukum di bidang kedokteran,
  • tercapainya kesamaan persepsi tentang batas-batas norma etik, disiplin dan hukum di bidang kedokteran,
  • tercapainya kesepakatan tentang batasan kewenangan masing-masing penegak norma dalam kaitannya dengan penegakan norma dalam kaitannya dengan penegakan norma bila ditemukan pelanggaran norma
Untuk menyusun Kebijakan Pembinaan Praktik Kedokteran dengan Penegak Hukum direncanakan pertemuan 2 (dua) tahap :
  • Pertemuan pertama dalam bentuk round table discussion bertema "Pergeseran Paradigma Penegakan Etik, Disiplin dan Hukum dalam Penyelenggaraan Praktik Kedokteran di Indonesia". Pertemuan ini melibatkan pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan praktik kedokteran di Indonesia, yang akan diadakan pada hari Senin, 19 November 2008, pukul 09.00 WIB, di Hotel Mirah, Bogor - Jawa Barat.
  • Pertemuan kedua dilakukan oleh tim yang dibentuk pada pertemuan pertama, untuk mempelajari, melengkapi serta mencari solusi permasalahan dalam penyelenggaraan praktik kedokteran dalam kaitannya dengan penegakan hukum di bidang kedokteran.

KEWAJIBAN PASIEN DALAM PELAYANAN MEDIS

Selain hak, pasien juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhinya. Dokter tidak dapat disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur dan mau menceritakan seluruh penyakit dan apa yang dirasakannya. Bila pasien sudah pernah berobat ke dokter lain, misalnya, dia juga harus menceritakan perawatan apa dan obat apa yang dia dapatkan sebelumnya. Bahkan pasien sebaiknya juga menceritakan sejarah penyakitnya pada dokter (misalnya ibu atau ayahnya berpenyakit darah tinggi, jantung, ginjal, diabetes, atau penyakit lainnya, sehingga dokter dapat mendiagnosis penyakit secara lebih tepat).

Pasal 53 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur tentang kewajiban pasien, yaitu :
Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban :
  • memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
  • mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
  • mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
  • memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Yang dimaksud dengan memberikan informasi yang lengkap dan jujur, misalnya untuk hal-hal seperti yang disebutkan di bawah ini :
  • memaparkan keadaan kepada dokter yang memeriksa, termasuk menceritakan awal dirasakannya keluhan tersebut dan berbagai kemungkinan yang bisa dikaitkan dengan keluhan,
  • menyampaikan informasi tentang hal-hal/tindakan yang sudah dilakukan sehubungan dengan keluhan tersebut.

Mematuhi nasihat dan petunjuk, termasuk meminta penjelasan kepada dokter untuk hal-hal yang tidak dipahami ketika dokter memberikan informasi mengenai keadaan dan situasinya.

Mematuhi peraturan sarana pelayanan kesehatan tempat ia dirawat, tidak boleh berbuat seenaknya, misalnya memakan makanan yang dilarang ataupun membuang obat yang diberikan dan berperilaku yang tidak sopan.

Pasien yang menjalankan perawatan haruslah memberikan imbalan jasa sesuai dengan kesepakatan. Karena itu adalah penting bagi seorang dokter/dokter gigi untuk menjelaskan kepada pasien ataupun keluarganya tentang biaya yang harus dikeluarkan, kecuali dalam hal emergency, di mana pasien harus ditolong dengan cepat, tanpa terlebih dahulu menerangkan tentang biaya yang diperlukan.

Kecenderungan secara global menunjukkan bahwa hubungan dokter dengan pasien haruslah berupa mitra, keduanya bekerja bersama untuk mencari jalan terbaik bagi kesembuhan pasien. Bila dari permulaan hubungan dokter/dokter gigi pasien sudah lebih baik dan saling terbuka, maka banyak masalah dapat diatasi bersama, karena dokter yang sudah mengetahui semua sejarah penyakit pasien serta keluhannya akan dapat membuat diagnosis yang lebih tepat. Di lain pihak pasien yang juga sudah mendapat keterangan lengkap tentang penyakitnya, cara pengobatan dan perawatannya, kemungkinan efek samping yang mungkin timbul, serta kemungkinan lain akibat tindakan medis tertentu, mestinya sudah lebih siap menghadapi segala kemungkinan (yang terburuk sekalipun) dan tidak akan begitu saja menyalahkan dokter, tanpa memahami seluruh rangkaian proses yang harus dilalui dalam suatu pengobatan ataupun perawatan medis.

-MMA- Mulyohadi Ali,Mohammad.Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien.2006.hal.67.Penerbit Konsil Kedokteran Indonesia.Jakarta

EDITORIAL

DOKTER SPESIALIS PRAKTIK PERORANGAN SEBAGAI DOKTER UMUM

Undang Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 mengatur jumlah tempat praktik, sebagaimana diatur dalam pasal 37, ayat 2. Dalam penjelasannya dikatakan tidak termasuk tempat praktik antara lain dalam bakti sosial, penanganan korban bencana, tugas kenegaraan yang bersifat insidentil. Keadaan ini tidak memerlukan surat ijin praktik tetapi cukup memberitahukan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota setempat. Surat Ijin Praktik terhitung pula dimana tempat dokter tersebut bekerja sebagai dokter antara lain Puskesmas, Poliklinik, Rumah Sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya.

Didalam Undang Undang Praktik Kedokteran tidak disebut apakah dokter spesialis boleh berpraktik dokter umum. Dalam Per Menkes No. 512 / 2007 pasal 19 disebutkan bahwa dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran harus sesuai dengan kewenangan dan kompetensi yang dimiliki serta kewenangan lain yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Dengan demikian seorang dokter yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi sebagai dokter/dokter gigi spesialis selayaknya berpraktik sebagai dokter spesialis.

Timbul permasalahan bagaimana dokter spesialis yang tidak terkait langsung dengan pasien atau yang hanya berhubungan dengan jenasah (antara lain spesialis patologi, farmakologi, mikrobiologi atau kedokteran forensik). Atau tenaga dokter spesialis tersebut masih dibutuhkan membantu pelayanan dokter/dokter gigi umum di sarana pelayanan kesehatan suatu institusi. Pada Per Menkes No.512/2007 pasal 5 ayat (3) disebutkan "Dalam hal terdapat keperluan pelayanan medis di daerah, Konsil Kedokteran Indonesia dapat menetapkan STR dokter spesialis atau STR dokter gigi spesialis, berkompeten pula sebagai dokter atau dokter gigi, sesuai permintaan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi atas nama Menteri. Yang pada kenyataannya sampai dengan saat ini KKI belum pernah menerima surat permintaan tersebut.

Bagaimana dengan praktik perorangan sebagai dokter umum. Secara logika seorang dokter spesialis lulusan Indonesia haruslah melalui pendidikan/ijasah dokter/dokter gigi umum. Dengan demikian mereka tentunya mempunyai kompetensi sebagai dokter umum. Selain itu di daerah tertentu, masyarakat masih membutuhkan dia sebagai dokter umum. Kalau di sarana pelayanan kesehatan boleh sebagai dokter umum, walau tentunya atas permintaan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, maka di praktik perorangan logikanya juga dapat, agar tidak menimbulkan standar ganda. Tentunya problematik ini memerlukan solusi yang tepat dan perlu pemikiran dan keputusan bersama antara Organisasi Profesi (IDI/PDGI) dengan Kolegiumnya, Menteri Kesehatan (dengan jajarannya antara lain Dinas Kesehatan), Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan, KKI dan mungkin beberapa pemangku kepentingan lain yang terlibat.

Sebelum ada kesepakatan bersama tersebut perlu diambil sikap sementara. Sikap tersebut berupa diperkenankannya dokter spesialis berpraktik dokter umum perorangan. Sikap ini bukan keputusan KKI tetapi lebih bersifat wacana yang perlu masukan dari para pemangku kepentingan. Sampai kapan dokter spesialis boleh berpraktik perorangan? Tentunya sampai dengan ada keputusan bersama definitif yang disyahkan KKI. Andaikata keputusan definitif tersebut belum ada, padahal STR yang bersangkutan sudah akan habis, dimana untuk memperpanjang STR diperlukan Sertifikat Kompetensi dengan bukti CPD, maka dokter spesialis tersebut tentunya harus menyampaikan CPD bagi dokter umum dan CPD bagi dokter spesialis ke IDI/PDGI untuk memperoleh Surat Keterangan Kompetensi/Sertifikat Kompetensi sebagai syarat mengajukan STR. Selanjutnya KKI dapat menerbitkan STR dokter umum dan STR spesialis berdasar dua kompetensi dokter tersebut yang diberika IDI/PDGI. Sehubungan dengan ini KKI perlu mempertimbangkan adanya Peraturan Konsil tentang memberikan dua STR yaitu STR dokter umum dan STR spesialis bagi dokter/dokter gigi spesialis yang menginginkan berpraktik perorangan dokter/dokter gigi umum.

BERITA KKI

PERTEMUAN AKHIR
ANALISIS STANDAR PENDIDIKAN & STANDAR KOMPETENSI
DOKTER GIGI SPESIALIS MASING-MASING CABANG ILMU
BOGOR, 5-7 NOVEMBER 2008

Sesuai dengan amanat UU No. 29 Tahun 2004, Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai tugas melakukan registrasi dokter dan dokter gigi, mensahkan standar pendidikan, dan melakukan pembinaan. Berkaitan dengan pendidikan kedokteran gigi, Konsil Kedokteran Indonesia dalam hal ini Divisi Standar Pendidikan Kedokteran Gigi bersama dengan stakeholders terkait sesuai dengan fungsi dan tugasnya telah menetapkan standar pendidikan dan standar kompetensi dokter gigi/dokter gigi spesialis, pedoman pembukaan prodi dokter gigi dan dokter gigi spesialis dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan kedokteran gigi. Standar dan pedoman tersebut telah disahkan KKI dan diimplementasikan oleh stakeholders.

Khusus untuk penerapan cabang ilmu kedokteran gigi yang disahkan KKI pada Desember 2007 setelah disepakati stakeholders terkait, antara lain adanya cabang ilmu kedokteran gigi Interdisiplin. Kesepakatan penetapan cabang ilmu kedokteran gigi Interdisiplin telah ditindaklanjuti dengan langkah-langkah implementasinya. Pada tanggal 10 Juli 2008 telah diperoleh kesepakatan mengenai Komite Cabang Ilmu Kedokteran Gigi Interdisiplin yang berfungsi mempersiapkan implementasi penerapan cabang ilmu kedokteran gigi Interdisiplin. Pada pertemuan tanggal 23-25 Oktober lalu telah didapatkan informasi mengenai persiapan implementasi yang masih perlu difasilitasi oleh KKG. Untuk itu perlu diadakan pertemuan akhir pada tanggal 5-7 November 2008 untuk membahas lebih lanjut tentang persiapan implementasi penerapan cabang ilmu kedokteran gigi interdisiplin.

Tujuan pertemuan adalah untuk memastikan langkah-langkah pelaksanaan kesepakatan implementasi penerapan cabang ilmu kedokteran gigi Interdisiplin.

HAL-HAL YANG PERLU DIBICARAKAN PASIEN DENGAN DOKTER

Dalam perkembangan zaman seperti sekarang ini, diharapkan bahwa pasien tidak lagi bersikap menyerahkan sepenuhnya, begitu saja, kepada dokter yang memeriksa/mengobatinya. Pasien perlu melibatkan diri secara aktif dalam proses pemeriksaan dan tindakan pengobatan. Sikap seperti yang dipaparkan berikut ini sangat diharapkan dari pasien :
* Meminta penjelasan tentang pelayanan medis yang dapat diberikan di tempat pelayanan yang dikunjungi.
* Meminta kejelasan tentang tarif yang harus dibayar untuk pelayanan kesehatan yang digunakan.
* Memaparkan keadaan kepada dokter yang memeriksa, termasuk menceritakan awal dirasakannya keluhan tersebut dan berbagai kemungkinan yang bisa dikaitkan dengan keluhan.
* Menyampaikan informasi tentang hal-hal/tindakan yang sudah dilakukan sehubungan dengan keluhan tersebut.
* Meminta penjelasan kepada dokter untuk hal-hal yang tidak dipahami ketika dokter memberikan informasi mengenai keadaan dan situasinya.
* Meminta penjelasan mengenai prognosis penyakit.
* Meminta penjelasan tentang pilihan lain dari yang dianjurkan dokter, berkaitan dengan proses pemeriksaan/pengobatan.
* Mengajukan cara lain dari yang disarankan karena menganggap lebih sesuai dengan kemampuannya, atau lebih memungkinkan daripada kalau mengikuti pemeriksaan dan atau pengobatan yang ditawarkan dokter.
* Meminta berkas atau membuat fotokopi dari data pemeriksaan (hasil pemeriksaan laboratorium, rontgen, dan sebagainya) dan menyimpannya sebagai arsip pribadi yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mencari opini lain, bahkan berpindah ke tempat pelayanan medis/dokter lain.
* Meminta penjelasan tentang kemungkinan lain dari cara yang dianjurkan dokter, berkaitan dengan proses pemeriksaan/pengobatan, serta mengajukan pilihan lain dari yang disarankan berdasarkan kemampuannya.
* Menanyakan hal-hal yang perlu diperhatikan dan diwaspadai sehubungan dengan penyakit yang diderita maupun pemeriksaan/pengobatan yang dilakukan.
* Menyampaikan penjelasan mengenai pihak-pihak yang ingin dilibatkan dalam proses pemeriksaan atau pengobatan, seperti keluarga atau pihak lain yang ditunjuk.
* Memperoleh penjelasan mengenai 'akhir hubungan' dengan tempat pelayanan kesehatan/dokter yang merawat.
* Memperoleh penjelasan agar dapat menyiapkan diri untuk menerima kenyataan yang paling buruk dari penyakit yang diderita.

-MMA-
Mulyohadi Ali,Mohammad.Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien.2006.hal.32.Penerbit Konsil Kedokteran Indonesia.Jakarta